PENDAHULUAN
Era kesejagatan
atau globalisasi adaIah era keterbukaan dan persaingan bebas. Dalam masa ini
semua informasi dengan kecanggihan teknologi dapat diakses secara transparan .
Apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi di suatu negara, pada saat itu pula
dapat diketahui oleh orang-orang di negara-negara yang lain . Hanya saja,
kemampuan suatu negara untuk mengakses, dan memanfaatkan informasi- informasi
itu sangat bergantung pada banyak faktor . Satu di antaranya adalah kualitas
sumber daya manusia yang dimilikinya, yakni kualitas orang-orang yang berada di
belakang teknologi canggih itu . Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia,
semakin besar pula daya aksesnya, dan produk yang dihasilkan semakin besar pula
daya saingnya di pasar global . Demikian pula sebaliknya . Berbicara tentang
kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini, janganlah dahulu mereka
dibandingkan dengan yang ada di negara-negara maju, seperti Jepang, Eropa,
Amerika, dan Australia, dengan yang ada di negaranegara tetangga Malaysia,
Thailand, dan Filipina saja kepunyaan kita masih berada di bawahnya. Masalahnya
sekarang bagaimanakah kita harus mempersiapkan sumber daya manusia kita dalam
upaya mempersempit kesenjangan itu sehingga era kesejagatan bukan merupakan
sesuatu yang menakutkan, tetapi sesuatu yang penuh tantangan dan membawa
harapan (Abdullah, 1998) .
BAB I
Potret Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi
Era globalisasi
akan menyentuh semua aspek kehidupan, termasuk bahasa. Bahasa yang semakin
global dipakai oleh semua bangsa di dunia ialah bahasa Inggris, yang pemkainya
lebih dari satu miliar. Akan tetapi, sama hanya denga bidang-bidang kehidupan
laian, sebagaimana dikemukakan oleh Naisbii (1991) dalam bukunya Global
Paradox, akan terjadi paradoks-paradoks dalam berbagai komponen kehidupan,
termasuk bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, walaupun pemakainya semakin besar
sebagai bahasa kedua, masyarakat suatu negara akan semakin kuat juga
memempertahankan bahasa ibunya. Di Islandia, sebuah negara kecil di Erpa, yang
jumlah penduduknya sekitar 250.000 orang, walaupun mereka dalam berkomunikasi
sehari-hari menggunakan bahasa Inggris seabagai bahasa kedua, negara ini masih
mempertahankan kemurnian bahasa pertamanya dari pengaruh bahasa Inggris. Di
Kubekistan (Guebec), yang salama ini peraturan di negara bagian ini mewajibkan
penggunaan bahasa Perancis untuk semua papan nama, sekarang diganti dengan
bahasa sendiri. Demikian juga negara-negara pecahan Rusia seperti Ukraina,
Lithuania, Estonia (yang memisahkan diri dari Rusia) telah menggantikan semua
papan nama di negara tersebut yang selama itu menggunakan bahasa Rusia.
Bagaimana
halnya dengan di Indonesia? Di Indonesia, fenomena yang sama pernah dilakukan
dengan pengeluaran Surat Menteri Dalam Negeri kepada gubernur, bupati, dan
walikota seluruh Indonesia Nomor 1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang
Penertiban Penggunaan Bahasa Asing. Surat itu berisi instruksi agar papan-papan
nama dunia usaha dan perdagangan di seluruh Indonesia yang menggunakan bahasa
asing agar diubah menjadi bahasa Indonesia. Ketika awal pemberlakukan peraturan
tersebut, tampak gencar dan bersemangat usaha yang dilakukan oleh pemerintah
daerah di seluruh Indonesia. Pemda DKI Jakarta, misalnya, bekerja sama dengan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengadakan teguran-teguran lisan dan
tertulis, bahkan turun ke lapangan mendatangi perusahaan-perusahaan yang papan
namanya menggunakan bahasa Inggris atau mencampuradukkan bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia dengan struktur bahasa Inggris. Misalnya, sebelumnya
terpampang “Pondok Indah Mall”, “Ciputra Mall”, “Lippo Bank”, “Mestika Bank”,
dan lain=lain, sekarang diubah menjadi “Mal Pondok Indah”, “Mal Ciputra”, “Bank
Lippa”, “Bank Mestika”.
Berbagai
fenomena dan kenyataan itu akan semakin mendukung ke arah terjadinya suatu
pertentangan (paradoks) dan arus tarik-menarik antara globalisasi dan
lokalisasi. Persoalan berikutnya adalah mampukah bahasa Indonesia
mempertahankan jati dirinya di tengah-tengah arus tarik-menarik itu? Untuk
menjawab persoalan ini, marilah kita menengok ke belakang bagaimana bahasa
Indonesia yang ketika itu masih disebut bahasa Melayu mampu bertahan dari berbagai
pengaruh bahasa lain baik bahasa asing maupun bahasa daerah lainnya di
nusantara. Sejauh ini tanpa terasa banyak kosakata yang sebenarnya hasil
serapan dari bahasa lain tetapi sudah kita anggap sebagai kosakata bahasa
Melayu/Indonesia. Misalnya sebagai berikut.
BAB II
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Berbahasa Indonesia dengan baik
dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya
sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi
formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama.
Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang
harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya
gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan
bahasa gaul yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal
ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.
Berbahasa yang baik yang
menempatkan pada kondisi tidak resmi atau pada pembicaraan santai tidak
mengikat kaidah bahasa di dalamnya. Ragam berbahasa seperti ini memungkinkan
munculnya gejala bahasa baik interferensi, integrasi, campur kode, alih kode
maupun bahasa gaul. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari
adanya interaksi dan komunikasi antarsesamanya. Bahasa sebagai sarana
komunikasi mempunyai fungsi utama bahasa adalah bahwa komunikasi ialah
penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain. Keterikatan dan
keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa tidak tetap dan selalu
berubah seiring perubahan kegaiatan manusia dalam kehidupannya di masyarakat.
Dunia pendidikan yang syarat
pembelajaran dengan media bahasa menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi yang
primer. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa baku merupakan simbol dalam dunia
pendidikan dan cendekiawan. Penguasaan Bahasa Indonesia yang maksimal dapat
dicapai jika fundasinya diletakkan dengan kokoh di rumah dan di sekolah mulai
TK (Taman Kanak-kanak) sampai PT (Perguruan Tinggi). Akan tetapi, fundasi ini
pada umumnya tidak tercapai. Di berbagai daerah, situasi kedwibahasaan
merupakan kendala. Para guru kurang menguasai prinsip-prinsip perkembangan
bahasa anak sehingga kurang mampu memberikan pelajaran bahasa Indonesia yang
serasi dan efektif.
Kurangnya pemahaman terhadap
variasi pemakaian bahasa berimbas pada kesalahan penerapan berbahasa. Secara
umum dan nyata perlu adanya kesesuaian antara bahasa yang dipakai dengan tempat
berbahasa. Tolok ukur variasi pemakaian bahasa adalah bahasa Indonesia yang
baik dan benar dengan parameter situasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma yang berlaku dan
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia (Sugono, 1994: 8).
a. Bahasa Indonesia yang baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah
bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku.
Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti di warung kopi, pasar, di
tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia
yang tidak terlalu terikat pada patokan. Dalam situasi formal seperti kuliah,
seminar, dan pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi
dan formal yang selalu memperhatikan norma bahasa.
b. Bahasa Indonesia yang benar
Bahasa Indonesia yang benar
adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa
Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa itu meliputi kaidah ejaan, kaidah
pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan
kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah
pembentukan kata ditaati secara konsisten, pemakaian bahasa dikatakan benar.
Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut
dianggap tidak benar atau tidak baku.
Hymes (1974) dalam Chaer
(1994:63) mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus
memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
a) Setting and Scene, yaitu unsur
yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Contohnya,
percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda
dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran berlangsung.
b) Participants, yaitu orang-
orang yang terlibat dalam percakapan. Contohnya, antara karyawan dengan
pimpinan. Percakapan antara karyawan dan pimpinan ini tentu berbeda kalau
partisipannya bukan karyawan dan pimpinan, melainkan antara karyawan dengan
karyawan.
c) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya,
seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik, tetapi
hasilnya sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan
pelajaran bahasa.
Sebenarnya apabila kita mendalami bahasa menurut fungsinya
yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia
merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.
Selain bahasa daerah, bahasa-bahasa lain seperti bahasa
Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Jerman, dan bahasa
Perancis berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam kedudukannya sebagai
bahasa asing, bahasa-bahasa terebut bertugas sebagai sarana perhubungan
antarbangsa, sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan alat untuk
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan
nasional. Jadi, bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam
makalah ini dapat ditarik simpulan bahwa era global dengan berbagai kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa
Indonesia. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi seharusnya bisa kita
manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita
lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information,
Communication and Technology). Selain itu, karena masyarakat Indonesia yang
multikultur pembelajaran bahasa Indonesia berbasis multikultur menjadi penting
untuk diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan
Pendidikan: Himpunan Bahasan. Penerbit: Diponegoro.
Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar.
Jakarta: Puspa Swara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar