Minggu, 07 April 2013

Hok-Gie dan Gunung



Soe Hok Gie yang biasa dipanggil dengan Soe, Gie ataupun Hok Gie ini lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa UI fakultas sastra jurusan sejarah 1962-1969 seorang seorang demostran yang sangat berani dan tidak kenal takut.  Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan.  

Gie pernah berkata “Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966

Dia begitu munyakai lembah Mandalawangi tempat yg nyaman untuk melepaskan semua hiruk pikuk kota Jakrta dan berbagai persoalan tentang politik dll. Soe pun sangat menyukai kegiatan mendaki gunung, banyak gunung yang sudah ia daki semasa hidupnya. Sampai ketika ia masih menjadi mahasiswa UI, dia dan teman-temannya mendirikan sebuah organisasi yang disebutnya Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam. Gunung Gede-pangrango, Salak, Slamet, Merapi, Ceremai dan Semeru yang menyebabkan dia berhembus nafas terakhir di gunung tertingggi di Pulau Jawa itu. Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis dan dipangkuan sahabatnya Herman O. Lantang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar