Minggu, 07 April 2013

Visi Misi dan Data Diri



M. Wildan Rahman
14110486

Nama lengkap saya Mohamad Wildan Rahman, yang biasa dipanggil wildan atau kewel lahir di Sukabumi 18 Februari 1993 anak pertama dari dua bersaudara. Dari lahir sampai kelas 6 SD tinggal di Sukabumi tepatnya di SDN Cikembar 1, masa-masa kecil yang tinggal di pedesaan itu sangat menyenangkan. Lalu pindah ke Bogor dan melanjutkan sekolah di SMPN 15 Bogor, yang mengharuskan saya beradaptasi dengan lingkungan baru dan disinilah saya mendapatkan panggilan ‘kewel’. Lulus di SMP saya memilih melanjutkan di SMAN 7 Bogor, disini saya benar-benar merasakan yang namanya masa-masa SMA yang begitu indah dan mendapatkan banyak pelajaran. Salah satunya ketika mengikuti kegiatan ekstrakulikuller pecinta atau penggiat alam yang bernama Waspala, dan kegiatan wajib yang saya lakukan setiap tahunnya sampai saat ini ialah mendaki gunung. Jenjang selanjutnya adalah kuliah dan Universitas Gunadarma menjadi persinggahan selanjutnya dalam mencari, mendapatkan ilmu ataupun belajar. Saat di SMA jurusan saya IPS dan ketika daftar di Gunadarma ada dua pilihan jurusan yang saya ambil yaitu, Sistem Informasi dan Manajemen. Pada akhirnya saya memilih Sistem Informasi, karena saya suka dengan hal-hal mengenai komputer dan pada saat itu saya berpikir mungkin ketika lulus peluang untuk bekerja akan lebih besar.

Bagian ini tentang karakter atau kepribadian, hobi sera visi dan misi saya kedepannya. Ketika ada orang yang baru kenal dengan saya, pasti dia akan bilang saya ini orangnya pendiam dan itu memang benar. Tetapi jika sudah kenal lama mungkin dia akan bilang, pendiam, suka melucu, mudah sekali marah tetapi sangat bisa sekali sabar dalam menghadapi berbagai masalah. Lebih senang tinggal dirumah dari pada pergi keluar dengan alasan yang tidak jelas dan hanya membuang-buang waktu jika tidak ada keperluannya. Saya dekat dengan keluarga tapi disni saya suka membantah kata-kata orang tua, tetapi semakin kesini saya mancoba untuk lebih sabar dan mengikuti keinginannya. Humoris, suka bercanda dengan teman-teman membicarakan sesuatu yang sedang hangat saat ini, atau sesuatu hal yang baru, membahas kejadian masa lampau yang memang itu lucu.
Liburan adalah hal yang paling saya tunggu-tunggu, seperti yang sudah saya bahas tadi mendaki gunung merupakan salah satu kegiatan wajib tahunan. Berbagi waktu dengan alam membuat seseorang tahu siapa diri dia yang sebenarnya, menjadi lebih baik dalam hal fisik maupun mental dan ada yang bilang lebih dekat dengan Tuhan.
Visi setiap orang mungkin berbeda-beda tetapi cenderung sama seperti, membahagiakan orang tua, memberi inspirasi terhadap orang lain, berguna untuk bangsa, negara, agama dan keluarganya, hidup bahagia bersama orang saya sayangi hingga akhir hayat dan itulah visi saya.
Sedangkan misinya yang pertama adalah menyelesaikan tugas dan kewajiban saya sebagai mahasiswa Universitas Gunadrma hingga lulus tepat pada waktunya, yang merupakan proses awal karier dan hidup akan kemana saya selanjutnya, mau menjadi orang apa dan seperti apa saya nantinya. Belajar menghargai seseorang atau hal-hal yang kecil menjadi lebih baik lagi, mengambil positif dari berbagai masalah yang dihadapi, bekerja dibidang yang saya inginkan dan saya kuasai serta tak lupa mendaki gunung-gunung yang ada di bumi ini.

Hok-Gie dan Gunung



Soe Hok Gie yang biasa dipanggil dengan Soe, Gie ataupun Hok Gie ini lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa UI fakultas sastra jurusan sejarah 1962-1969 seorang seorang demostran yang sangat berani dan tidak kenal takut.  Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan.  

Gie pernah berkata “Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966

Dia begitu munyakai lembah Mandalawangi tempat yg nyaman untuk melepaskan semua hiruk pikuk kota Jakrta dan berbagai persoalan tentang politik dll. Soe pun sangat menyukai kegiatan mendaki gunung, banyak gunung yang sudah ia daki semasa hidupnya. Sampai ketika ia masih menjadi mahasiswa UI, dia dan teman-temannya mendirikan sebuah organisasi yang disebutnya Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam. Gunung Gede-pangrango, Salak, Slamet, Merapi, Ceremai dan Semeru yang menyebabkan dia berhembus nafas terakhir di gunung tertingggi di Pulau Jawa itu. Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis dan dipangkuan sahabatnya Herman O. Lantang.