Jumat, 29 Juni 2012

Masalah Sandal jepit

Ironisnya lagi, mengaku sebagai negara hukum, namun  mencari keadilan di negeri ini seakan begitu sulit. Padahal, keadilan adalah tujuan yang menjadi roh penegakan hukum, di samping kemanfaatan dan kepastian. Deretan peristiwa memilukan menjadi bukti. Mungkin dada kita akan tersesak dan tanpa sadar terisak ketika mendengar Nenek Minah asal Banyumas (65 tahun) harus menikmati 45 hari dinginnya hotel prodeo dengan percobaan 3 bulan hanya karena memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RAS). Begitu juga dengan Prita Mulyasari yang harus berjuang menjalani proses hukum hanya karena berbagi kisah dengan sahabatnya melalui media elektronik atas buruknya pelayanan RS Omny Internasional.

Atau kalau ingatan kita sudah agak nanar dengan deretan kisah pilu itu, cermatilah kasus AAL, siswa SMK berusia 15 tahun asal Palu yang harus dituntut 5 tahun penjara karena dituduh mencuri sandal jepit yang harganya tak lebih dari Rp 30.000. Kita tentu sepakat, bahwa semua yang bersalah harus dihukum. Namun hukum juga tidak boleh dipahami dengan legalistik formal belaka. Landasan sosiologis dan filosopis dari setiap putusan juga harus menjadi pertimbangan yang tidak boleh terlupakan.

Sekarang, mari bandingkan kasus-kasus di atas dengan vonis yang diterima para terdakwa korupsi. Selain puluhan yang bebas, rata-rata vonisnya juga hanya berkisar 1 sampai 3 tahun, padahal sudah merampok miliaran uang negara. Sungguh menyakitkan.

Harus diakui, ada kekurangan dalam KUHP maupun perundang-undangan lainnya yang cenderung menggeneralisasi setiap kasus. Pasal 362 KUHP yang dijadikan ancaman hukuman bagi AAL misalnya. Tidak ada pembedaan hukuman kepada anak-anak dan orang dewasa.

Begitu juga dengan situasi dan kondisi pelaku seperti dalam kasus nenek Minah. Termasuk akibat dari perbuatan tersebut. Memang tiada peraturan yang sempurna. Namun seharusnya di sinilah hakim hadir sebagai penyempurna dengan kewenangan yang dimilikinya.  Sebagai pengadil, hakim bebas menemukan hukum (rechtsvinding) sekaligus menciptakan hukum (judge made law).

Sayangnya, hal itulah yang masih minim ditemukan di banyak diri hakim kita saat ini. Selain itu, putusan hakim tidak berdiri sendiri, namun berproses. Mulai penyelidikan, penyidikan, dakwaan hingga tuntutan yang semuanya sangat mempengaruhi putusan. Karena itu, harus ada sinergitas antara kepolisian, kejaksaan dan kehakiman demi sebuah putusan yang dibuat demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Semoga. (Januari Sihotang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar