Jumat, 29 Juni 2012

Negara boleh Hukum, tapi dimana Keadilan?


Indonesia adalah negara hukum! Begitu bunyi yang tertuang di dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kendati pasal tersebut baru secara eksplisit hadir dalam batang tubuh UUD 1945 setelah reformasi (perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001), namun sesungguhnya cita-cita negara hukum sudah diamanatkan oleh UUD sebelum perubahan.
Dalam penjelasan umum UUD 1945, dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), bukan kekuasaan belaka (machstaat). Artinya, sejak awal pembentukan negara ini, para founding fathers sudah sepakat untuk menjadikan hukum sebagai acuan dalam berbangsa dan bernegara.

Persoalannya kemudian, ketika mengaku sebagai negara hukum, sudahkah negara ini memenuhi syarat yang harus dipenuhi sebagai negara hukum? Dengan merampungkan berbagai teori mengenai negara hukum, maka setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi ketika suatu negara mengaku sebagai negara hokum.

Pertama, pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Kedua, peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Ketiga, adanya jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

Kalau mau jujur, pemenuhan tiga aspek penting negara hukum tersebut belum sesuai harapan di Indonesia. Pertama, pengakuan hak asasi menjadi problem mendasar bangsa ini. Misalnya saja, pemenuhan hak hidup layak, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta kesetaraan di dalam hukum telah menjadi barang mahal yang seakan mustahil dibayar negara ini kepada warganya.

Belum lagi penyakit lupa penguasa dengan beberapa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Kedua, pengadilan di Indonesia telah jauh melenceng dari misinya sebagai tempat mencari keadilan. Pengadilan justru berubah menjadi ajang adu kekuatan, tempat mencari pemenang dan yang kalah. Pengadilan juga menjadi begitu sulit menggeliat akibat timbunan lemak kepentingan dan intimidasi pengaruh politik uang dan kekuasaan.

Begitu juga dengan aspek ketiga, jaminan kepastian hukum. Meminjam istilah Mahfud MD, bahwa hukum (undang-undang) adalah produk politik. Memang dalam tiga pilar kekuasaan trias politica, anggapan itu menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Apalagi bila negara telah berumah dalam ranah demokrasi. Tanpa sadar, ternyata negara menjelma partiokrasi, dimana setiap peraturan dan kebijakan banyak disetir partai politik.

Salahkah partai politik? Jawabannya tentu, tidak. Yang bermasalah adalah ketika partai politik diisi oleh orang-orang yang tidak mampu menjadi negarawan ketika kekuasaan yang dimilikinya sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan publik. Termasuk dalam pembentukan regulasi, seperti undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar